Sabtu, 07 Mei 2011

Nikmatnya berhaji (part 1)

            Sudah berjalan hampir 6 bulan sejak saya menunaikan ibadah haji. Perjalanan tak disangka bahkan tak terbayangkan sedikitpun oleh saya. Sebuah perjalanan yang selalu saya impikan, khususnya sejak dua tehun terakhir sebelum takdir Allah mengantarkan saya ketanah suci. Teringat awal mula keinginan itu secara khusus saya niatkan. Yaitu suatu sore saat pengajian pekanan ketika Murabbi saya pada saat itu baru pulang umrah. Dengan menggebu, ia menceritakan kisah perjalanannya ke tanah suci. Betapa terharunya memandang ka’bah untuk pertama kalinya dalam hidup.Tanpa sadar, saya ikut meneteskan airmata kerinduan seiring kisah beliau dalam mensyukuri perjalanannya. Kemudian ia berkata, “kita harus meniatkannya. Bahkan meskipun, kita belum mampu berhaji, niat umrah pun harus dilakukan” Saat ia berkata seperti itu, niat haji dalam hati saya lebih menggebu dari yang pernah ada, walaupun entah kapan Allah akan mengantarkan saya kesana. Kebetulan, saat-saat itu adalah masa-masa dimana saya merasa sedang diuji oleh Allah. Dan saya merasa harus mengadukan masalah saya itu kepada Allah. Baik disini, ataupun disana, ditanah suci.Maka Bismillah, saya niatkan, ingin berhaji, ingin memandang ka’bah secara langsung, ingin “curhat” pada Allah ditempat-tempat dimana doa tak tertolak. Itulah niat saya pada saat itu.
            Setahun kemudian, mendekati akhir tahun 2009 Masehi, tanpa pernah saya sangka sedikitpun, Ibu saya menawari untuk menemaninya ibadah Haji. Tawaran yang saat itu tidak terlalu saya tanggapi, karena sebagian diri saya merasa perjalanan haji adalah sesuatu yang rasanya masih jauuuuuh terjadi, impossible, masih diawang-awang, ga kebayang wujudnya…Ternyata Ibu serius. Lebih serius lagi saat suami ternyata mengijinkan, meski kami masih punya bayi berusia 6 bulan. Meskipun mengiyakan, diri saya sebenarnya tidak pernah terpikir akan dapat berangkat dalam waktu dekat. Bukannya tak yakin akan kuasa Allah, saya hanya berpikiran bahwa waiting list untuk haji mungkin 10 tahun lamanya, apalagi kami akan berangkat dari Jakarta. Meski begitu, saya nurut saja saat Ibu meminta saya mengurus pendaftaran Haji melalui salah satu travel yang kami percaya, travel yang kebetulan jejaring dari kantor tempat saya bekerja. Proses pendaftaran tidak terlalu ribet, kebetulan juga pegawai Travel amat membantu. Kami mendaftar untuk tiga orang; Saya, Ibu dan Kakak perempuan saya. Setelah mondar mandir sedikit, akhirnya tinggal tunggu pemberitahuan kami dapat no porsi atau tidak  dari Departemen Agama yang kata petugas dari travel yang kami pilih, akan dilakukan paling lama 6 bulan dari saat itu.
Setelah itu, masalah haji terlupakan. Sedikit tidak mau berharap, karena meski saya mensyukuri proses yang sedang berjalan, sejujurnya saya masih ragu akan keberangkatan ini. Beranikah saya berpergian jauh tanpa didampingi suami, bagaimana dengan anak kami nanti kalau saya tinggal sementara ia masih menyusu. Banyak dan banyak keraguan yang menyelinap. Hingga saat Ibu saya menelepon di pertengahan bulan Juni tahun berikutnya, mengabarkan keberangkatan kami dengan no porsi sekian-sekian ditahun itu juga, saya hanya terhenyak dan seakan baru diingatkan akan rencana haji. “is it real?!”
            Idealnya, saat orang semakin dekat dengan impiannya, ia akan bersemangat, tak sabar menanti, ataupun ekspresi kegembiraan lainnya. Saat itu saya justru malah sebaliknya. Saya merasa semakin mengawang-awang antara impian dengan kenyataan. Berangkat haji ternyata tak semudah yang saya niatkan ketika Allah justru mengabulkan niat itu. Dilema terbesar yang saya rasakan justru dari anak-anak saya yang masih batita, terutama yang paling kecil, yang masih menyusu. Sanggupkah saya meninggalkan mereka. Disaat yang sama saya merasa sebagai orang yang paling tidak bersyukur sedunia. Bagaimana mungkin, saat Allah mengabulkan doamu, justru dirimu malah ragu untuk menerimanya.

            Ternyata itulah ujian yang Allah beri seiring dengan nikmat yang Ia hantarkan padaku. Lima bulan setelahnya hingga menjelang keberangkatan merupakan masa-masa yang cukup sulit. Selain masalah anak, ada juga masalah-masalah lain. Seperti biaya misalnya. Saya memang dibayari ONH oleh Ibu saya, Plus pula. Tapi bukan berarti sama sekali bebas biaya. Tidak bisa tidak, ada biaya-biaya lain diluar biaya ONH, seperti pembuatan passport misalnya. Pada masa itu, saya dan suami baru saja resign dari tempat kami bekerja untuk mewujudkan impian kami (yang satu lagi) untuk menjadi pengusaha kecil-kecilan. Otomatis seluruh dana yang kami miliki tersedot untuk modal usaha dan hasilnya pun masih belum stabil. Memandang masa-masa itu dari kacamata terkini saya saat ini, Alhamdulillah Allah memberi ujian itu. Dengan ujian itu, saya selalu diingatkan bahwa perjalanan ini adalah anugrah ditengah masa sulit kami. Maka harus dimanfaatkan sepenuhnya. Jangan sampai kesia-siaan yang kami dapat. Niat harus terus diluruskan. Sabar dan syukur senantiasa diamalkan. Memang perjalanan Haji ini menuntut pengorbanan yang sangat besar (terutama bagi saya saat itu adalah korban perasaan setiap memandang anak-anak saya) tapi bukankah syurga Allah juga harus ditebus dangan harta dan jiwa. Pokoknya saya selalu mengingatkan diri..kuat..kuat …jangan lemah..
           
            Akhirnya hari itu datang juga. Hari yang mungkin paling saya nantikan dalam hidup saya. Hari keberangkatan untuk menjalankan ibadah haji. Hari yang terindah sekaligus hari yang terberat dalam hidup saya. Karena harus meninggalkan suami dan anak-anak. Anak saya yang kedua sudah disapih sejak dua minggu sebelumnya, saat saya manasik. Hari-hari setelahnya adalah hari-hari ia menangis meminta menyusu, dan saya menangis dalam hati karena tak boleh mengabulkannya. Alhamdulillah setelah satu minggu masa rewel, akhirnya terlewati juga masa itu. Anak saya yang pertama, yang cenderung lebih dekat keayahnya, justru jadi sangat sensitive dengan rencana kepergian saya. Diusianya yang 2,5 tahun, ia sudah bisa mengerti saat saudara-saudara atau kerabat sering menyebut “duh, Asma nanti ditinggal bunda ya…” terlalu sering ia mendengar kalimat itu, ia menjadi paham bahwa ia akan ditinggal dan malah susah untuk melepaskan diri dari saya. Ketika saya masuk kedalam bus yang akan membawa kebandara, ia menangis dengan tersedu-sedu. Sungguh, hari itu merupakan momen dimana pengorbanan saya diuji.

mata sembab sudah membayangkan harus meninggalkan keluarga, sementara Asma mendekati detik-detik keberangkatan hanya menunduk sambil berbisik "ama mau itut..ama mau pegi aji.."

bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar