Selasa, 20 Januari 2009

REFLEKSI 2 TAHUN PERNIKAHAN

Bila orang (lajang) beranggapan bahwa dengan menikah adalah akhir sebuah tujuan, akhir sebuah cerita, penyelesaian segala masalah, seperti di akhir dongeng-lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya, bisa dikatakan mereka salah. Wooo..kesannya seram sekali menikah. Yaaa..ga seseram itu sih… tapi juga ga seindah itu. Intinya itu saja. Menikah justru awal dari segalanya, awal menentukan tujuan, awal beradaptasi dengan pasangan dan keluarganya, bahkan awal dari masalah-masalah baru. Memang, sebelum menikah, yang terbayang semua yang indah-indah. Bayangan seindah surga. Kenyataannya?hmmmm…(silakan tafsirkan sendiri)
Bagaimanapun, aku sangat bersyukur telah menikah, meski kadang terlintas dipikiranku yang nakal, waah..kalau masih lajang enak nih, masih bisa begini-begini dan begitu-begitu, misalkan mau I’tikaf, mau aksi, mau kegiatan apa, tidak perlu banyak pertimbangan. Mau jalan ya jalan aja ga perlu ijin suami. Tapi, saat pikiran itu melintas, terkadang aku berpikir, bodoh juga berpikir begitu, sementara disaat yang sama, aku malah banyak mendapat kemudahan karena telah menikah, minimal jadi ada yang nganter jemput. Pada akhirnya, semua ini tentang bagaimana kita bersabar dan bersyukur.
Awal menikah dulu, aku membayangkan, seperti pasangan-pasangan lain yang tak punya apa-apa diawal kehidupan rumah tangganya, maka aku bersiap-siap hidup prihatin. Dalam bayanganku, aku akan hidup di kontrakan petakan sempit, mencuci baju pakai papan gilesan, masak masakan seadanya (sebisanya, abis ga bisa masak hehehe), membawakan suami bekal makanan demi menghemat pengeluaran rumah tangga….eee, (Alhamdulillah) ternyata semua bayanganku ga ada yang terwujud. Subhanallah…
Rumah kontrakan , karena agak terburu-buru mencarinya, dapatnya malah kontrakan yang terlalu luas buat kami tinggali berdua. Sebuah rumah dengan dua kamar. Yang ada , setelah ditinggali kesannya lapaaaaaaang banget, toh kami juga ga punya perabotan rumah tangga. Jadi rumah itu benar-benar kosong melompong. Hari kedua setelah akad, tiba-tiba suamiku mengajakku ke salah satu hypermarket terdekat. Aku disuruhnya memilih mesin cuci. Sampai terbengong-bengong aku dibuatnya. Bayangan mencuci dengan papan gilesan, sikat dan tangan sangat erat melekat, tak terpikirkan akan memiliki mesin cuci secepat itu. Ternyata suamiku sangatlah pengertian dan perhatian, ia sadar pekerjaan mencuci termasuk golongan kelas berat dalam kehidupan rumah tangga, maka ia dengan segala kebesaran hati menyisihkan dana simpanan untuk beli mesin cuci. Alhamdulillah sambil berjalan, kami bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit perabotan rumah tangga (Hingga sekarang saat kami kebagian rezeki menempati rumah petakan sempit, baru terasa…duh, sempit!!!Barang-barang kita banyak banget siiih..meski perabotan semacam kursi, sofa, meja tetap tidak masuk dalam daftar belanja kami) dan Alhamdulillah, kami selalu diberi lebih oleh Alah, meski dalam hitungan kertas tampaknya akan besar pasak daripada tiang, ujian orang tua yang sakit dan butuh biaya banyak dan sebagainya Alhamdulillah mampu kami lewati tanpa berhutang.
Sungguh, kadang-kadang aku suka bertanya pada Allah, layakkah aku menerima nikmatMu ini ya Allah? Segala kemudahan dan fasilitas. Sementara aku masih sering kurang bersyukur. Sering lalai, Sering Malas. Aku hanya berusaha mengingatkan diri dan suami terus menerus, harta adalah ujian, orang yang diberi sedikit harta sedang diuji, orang yang diberi banyak harta pun sedang diuji, semoga kami mampu melewati segala ujian, baik miskin harta ataupun banyak harta. Dan terutama berdoa, agar sedikit atau banyaknya harta kami diperoleh dengan halal & thayyib sehingga Allah ridha.
Sepanjang perjalanan rumah tangga kami, masalah keuangan memang bukan masalah utama rumah tangga kami. Yang sering menjadi masalah diantara aku dan suami justru lebih banyak masalah komunikasi. Perang dingin tak jarang pula kami alami. Syukur, kami berdua bukan orang yang suka ngomel dan adu mulut. Selama 2 tahun ini, kusadari, tipe kami sama. Kalau sedang kesal, tiba-tiba diam (ditambah dengan muka jutek, garang, sinis), lalu setelah badai dihati mereda baru bicara. Jadi tidak pakai piring,gelas,handphone terbang, tidak mengeluarkan isi kebun binatang dan masalah lebih mudah terpecahkan bila dibicarakan dengan kepala & hati yang dingin.
Awal-awal menikah aku banyak ngambek. Tiba-tiba diam, menangis, jutek. Suamiku bingung. Saat aku diam begitu, dia selalu memaksa aku bicara. Dia paling ga tahan aku bersikap diam begitu. Padahal aku diam untuk mendinginkan hati dan kepala. Setelah dingin, aku pasti akan bicara, “tadi itu begini-begini…” “Aku ga sreg kalau mas begitu-begitu…” Diawal pernikahan saat aku “kambuh” begitu, suami kadang ikut emosi. Ikutan “ngambek”, dia frustasi karena aku diam saja. Yang dia inginkan aku membicarakan apa yang sedang terjadi, kenapa aku tiba-tiba diam. Sesungguhnya, aku benar-benar ga sanggup bicara kalau sedang emosi. Jadi lebih baik diam. Kalau suamiku cenderung terus terang, jadi ia lebih sering langsung bicara saat sedang merasa tidak enak hati dengan apa yang kulakukan. Akhir-akhir ini entah ketularan atau apa, suamiku juga sering diam saat sedang emosi. Dan aku gantian, mengorek-ngorek dia untuk bicara. Yang jelas, Alhamdulillah kami jarang bertengkar mulut, ngotot-ngototan mempertahankan pendapat. Sejak awal, kami membiasakan saling minta maaf meskipun bukan sebagai pihak yang salah. Minimal, minta maaf telah membuat pasangan merasa tidak nyaman dengan perbuatan kita, meski kadang kita tidak sadar telah melakukan kesalahan. Semoga kebiasaan saling meminta maaf ini bisa lestari selama-lamanya. Sekarang-sekarang ini, setelah begitu banyak perang dingin yang kami alami, kami merasa sudah lebih dewasa dalam memecahkan masalah. Setelah semua yang terjadi, sering kali perang dingin disebabkan kesalah pahaman. Setelah dibicarakan ternyata ada kesalahpahaman ditengah-tengah kami. Saya inginnya A, suami inginnya B. Ga nyambung lalu perang dingin. Sejujurnya dalam banyak hal, kadang aku sadar, sepertinya aku yang kurang dewasa dan suami yang lebih pengertian. Kadang, aku yang kurang bisa mengkomunikasikan keinginanku, lalu sebel sendiri, lalu emosi. Diam. Akhir-akhir ini aku merasa seperti itu. Padahal seandainya itu dibicarakan, bisa saja selesai tanpa pakai protokoler ngambek terlebih dahulu. Aku hanya bisa berdoa semoga saja suamiku bisa terus bersabar menghadapi aku.
Satu hal lagi, yang sangat kutekankan pada diriku sendiri, mengalah. Kadang saat menghadapi masalah, sikap mengalah sangat membantu. Meski kadang ada syaithan yang menyanyikan sebuah lagu yang dinyanyikan band seventeen di telingaku “Mengapa selalu aku yang mengalah….?” Tapi ya…ngga juga sih..kadang karena keegoisan kita, kita selalu merasa kita terus yang mengalah. Padahal, dalam banyak hal yang ga kita sadari, mungkin pasangan kita juga banyak mengalah. Jadi selama memang mengalah bisa meminimalisir masalah, ya lakukan saja. Itu salah satu cabang bersabar dalam kaidah bersabar dan bersyukur yang aku anut dalam rumah tangga ini.
Hari ini dalam kalender Hijriyah, pas 2 tahun sudah pernikahan kami.
Mengenang masa dua tahun yang lampau, banyak kisah yang kami alami. Kisah lucu masa adaptasi kami berdua, adaptasi kami dengan keluarga masing-masing, kisah sedih saat kepercayaan diantara kami berdua sedang diuji, kisah bahagia dengan kehadiran buah hati kami Asma Izzatunnisa dan menyusul calon adiknya didalam rahim, hidup bertetangga dilingkungan yang tak kondusif, tentu akan lebih banyak kisah yang kami alami nanti, hanya satu harapanku, semoga semua kisah itu, baik senang, sedih, duka tawa, senantiasa berbalut ridha Allah dan kesadaran untuk mencapai tujuan hakiki pernikahan ini karena Allah. Sehingga nantinya kami sekeluarga dapat berkumpul di Jannah-Nya dan dijauhkan dari api neraka.
Wallahu’alam


23 Muharram 1430 H