Rabu, 11 Mei 2011

merdeka dengan hijabku


So don’t you see?
That I’m truly free
This piece of scarf on me
I wear so proudly
To preserve my dignity...
My modesty
My integrity
So don’t judge me
Open your eyes and see
I’m the one who’s free
For you I sing this song
My sister, may you always be strong

~Free by Samy Yusuf~

            Sebagian orang  mengatakan hijab/jilbab/kerudung adalah bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan, pengekangan, mematikan potensi, malah ada yang bilang mematikan pasaran jodoh segala loh – astaghfirullahal’adziim..semoga Allah SWT menunjukkan jalan pada orang-orang yang berpandangan seperti ini.
Kalau saya, saya bahagia memakai hijab. Saya merasa bebas, lebih bebas dari burung yang terbang dilangit. Saya bangga berhijab.
            Seluruh tubuh saya memang tertutup (tentu saja kecuali muka dan telapak tangan ya), tapi hati saya bebas merdeka. Saya tidak perlu khawatir bagaimana tatanan rambut saya kalau tertiup angin. Tidak perlu repot luluran, beli cream pencerah wajah, pemutih kulit ataupun khawatir kulit saya jadi belang-belang terpapar sinar matahari. Sadarkah kalian,wahai saudariku, sudah menjadi korban industri kecantikan dengan memboyong semua cream-cream pemutih itu?? saya bangga dan bahagia tidak menjadi korban mereka-mereka yang menanamkan paradigma melalui iklan-iklan bahwa perempuan cantik adalah mereka yang berkulit putih, berambut lurus, memiliki body yang seperti gitar demi kepentingan industri mereka sendiri. Setiap hari kita dijejali iklan-iklan seperti itu. Membentuk pola pikir bawah sadar kita bahwa perempuan cantik adalah mereka dengan kriteria tersebut diatas
Perintah berhijab untuk kaum muslimah adalah untuk membebaskan dari paradigma-paradigma penilaian keduniawian seperti semacam itu. Islam memerintahkan untuk menilai orang dari “dalamnya” yaitu ketaqwaannya, keimanannya, ahklaqnya. Bukan dari pakaian, penampilan, kulit putihnya, rambutnya yang lurus seperti dicreambath setiap hari, wajahnya yang bebas noda. Rasul memerintahkan untuk mendengar apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Islam mementingkan isi, bukan bungkus. Dan saya merasa terbebaskan dengan hijab ini. Bahwa dengan hijab yang saya pakai, saya menuntut meminta orang lain menghargai  saya dari apa yang saya pikirkan, saya kemukakan, hasil pekerjaan yang saya lakukan dan saya menolak dinilai apalagi diremehkan hanya karena saya tidak putih, atau karena rambut saya keriting, bahkan karena tubuh saya gendut.
“ Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tapi Ia melihat hati dan amal kalian” H.R Muslim
Kalau kita membuka kembali sejarah para shahabiyah, mereka adalah akhwat-akhwat yang luar biasa. Asma’ binti Abu Bakar misalnya, ia dalam keadaan hamil tua memanjat tebing / bukit tsur untuk mengantarkan bekal pada Rasulullah dan Abu Bakar. Dan jangan dibayangkan bukitnya pendek, rimbun dengan rumput dan pepohonan (emang di Jawa Barat?!) wuih…tinggi banget loh dengan batu-batuan cadas. Asma tanpa takut akan apapun mendaki gunung Tsur tersebut dengan mengikatkan tali dipinggangnya
Ada seorang shahabiyah bernama Nusaibah yang tak gentar turun ke medan jihad. Tak rela Rasulullah dilukai kaum kafir, Nusaibah yang tadinya merawat korban perang, angkat pedang diatas kuda membabat kaum kafir. Hingga akhirnya ia syahid dan langit ikut menghitam karena bayangan para Malaikat yang berduyun-duyun menyambut arwah Nusaibah. Itu baru sedikit kisah para Shahabiyah yang memberi tauladan akan kiprah mereka menjemput ridha Allah SWT. Tidak ada dalam shirah mereka, bahwa hijab menghalangi kiprah mereka. Mencari ilmu, berperang, menjadi perawat, masih banyak sekali kisah shahabiyah yang lain yang bisa menginspirasi (yang akan dibahas dilain artikel). Pada intinya adalah, menjadi muslimah yang taat, yang berhijab, yang berakhlak sama sekali tidak membatasi potensi diri. Kita kaum muslimah bisa mengembangkan potensi apapun selama sesuai dengan  tuntunan Rasulullah SAW dan tidak  melanggar perintah Allah SWT.
Pada akhirnya tulisan ini hanyalah bentuk keprihatinan melihat saudari-saudariku sibuk mempercantik diri sesuai aturan pakai kemasan kosmetik, hingga melupakan mempercantik diri sesuai aturan Allah SWT, menunda-nunda berhijab, atau berhijab setengah-setengah karena alasan yang lemah. Ya Allah semoga kau beri hidayah bagi saudariku untuk mempercantik dirinya dengan hijab.

Sabtu, 07 Mei 2011

Nikmatnya berhaji (part 1)

            Sudah berjalan hampir 6 bulan sejak saya menunaikan ibadah haji. Perjalanan tak disangka bahkan tak terbayangkan sedikitpun oleh saya. Sebuah perjalanan yang selalu saya impikan, khususnya sejak dua tehun terakhir sebelum takdir Allah mengantarkan saya ketanah suci. Teringat awal mula keinginan itu secara khusus saya niatkan. Yaitu suatu sore saat pengajian pekanan ketika Murabbi saya pada saat itu baru pulang umrah. Dengan menggebu, ia menceritakan kisah perjalanannya ke tanah suci. Betapa terharunya memandang ka’bah untuk pertama kalinya dalam hidup.Tanpa sadar, saya ikut meneteskan airmata kerinduan seiring kisah beliau dalam mensyukuri perjalanannya. Kemudian ia berkata, “kita harus meniatkannya. Bahkan meskipun, kita belum mampu berhaji, niat umrah pun harus dilakukan” Saat ia berkata seperti itu, niat haji dalam hati saya lebih menggebu dari yang pernah ada, walaupun entah kapan Allah akan mengantarkan saya kesana. Kebetulan, saat-saat itu adalah masa-masa dimana saya merasa sedang diuji oleh Allah. Dan saya merasa harus mengadukan masalah saya itu kepada Allah. Baik disini, ataupun disana, ditanah suci.Maka Bismillah, saya niatkan, ingin berhaji, ingin memandang ka’bah secara langsung, ingin “curhat” pada Allah ditempat-tempat dimana doa tak tertolak. Itulah niat saya pada saat itu.
            Setahun kemudian, mendekati akhir tahun 2009 Masehi, tanpa pernah saya sangka sedikitpun, Ibu saya menawari untuk menemaninya ibadah Haji. Tawaran yang saat itu tidak terlalu saya tanggapi, karena sebagian diri saya merasa perjalanan haji adalah sesuatu yang rasanya masih jauuuuuh terjadi, impossible, masih diawang-awang, ga kebayang wujudnya…Ternyata Ibu serius. Lebih serius lagi saat suami ternyata mengijinkan, meski kami masih punya bayi berusia 6 bulan. Meskipun mengiyakan, diri saya sebenarnya tidak pernah terpikir akan dapat berangkat dalam waktu dekat. Bukannya tak yakin akan kuasa Allah, saya hanya berpikiran bahwa waiting list untuk haji mungkin 10 tahun lamanya, apalagi kami akan berangkat dari Jakarta. Meski begitu, saya nurut saja saat Ibu meminta saya mengurus pendaftaran Haji melalui salah satu travel yang kami percaya, travel yang kebetulan jejaring dari kantor tempat saya bekerja. Proses pendaftaran tidak terlalu ribet, kebetulan juga pegawai Travel amat membantu. Kami mendaftar untuk tiga orang; Saya, Ibu dan Kakak perempuan saya. Setelah mondar mandir sedikit, akhirnya tinggal tunggu pemberitahuan kami dapat no porsi atau tidak  dari Departemen Agama yang kata petugas dari travel yang kami pilih, akan dilakukan paling lama 6 bulan dari saat itu.
Setelah itu, masalah haji terlupakan. Sedikit tidak mau berharap, karena meski saya mensyukuri proses yang sedang berjalan, sejujurnya saya masih ragu akan keberangkatan ini. Beranikah saya berpergian jauh tanpa didampingi suami, bagaimana dengan anak kami nanti kalau saya tinggal sementara ia masih menyusu. Banyak dan banyak keraguan yang menyelinap. Hingga saat Ibu saya menelepon di pertengahan bulan Juni tahun berikutnya, mengabarkan keberangkatan kami dengan no porsi sekian-sekian ditahun itu juga, saya hanya terhenyak dan seakan baru diingatkan akan rencana haji. “is it real?!”
            Idealnya, saat orang semakin dekat dengan impiannya, ia akan bersemangat, tak sabar menanti, ataupun ekspresi kegembiraan lainnya. Saat itu saya justru malah sebaliknya. Saya merasa semakin mengawang-awang antara impian dengan kenyataan. Berangkat haji ternyata tak semudah yang saya niatkan ketika Allah justru mengabulkan niat itu. Dilema terbesar yang saya rasakan justru dari anak-anak saya yang masih batita, terutama yang paling kecil, yang masih menyusu. Sanggupkah saya meninggalkan mereka. Disaat yang sama saya merasa sebagai orang yang paling tidak bersyukur sedunia. Bagaimana mungkin, saat Allah mengabulkan doamu, justru dirimu malah ragu untuk menerimanya.

            Ternyata itulah ujian yang Allah beri seiring dengan nikmat yang Ia hantarkan padaku. Lima bulan setelahnya hingga menjelang keberangkatan merupakan masa-masa yang cukup sulit. Selain masalah anak, ada juga masalah-masalah lain. Seperti biaya misalnya. Saya memang dibayari ONH oleh Ibu saya, Plus pula. Tapi bukan berarti sama sekali bebas biaya. Tidak bisa tidak, ada biaya-biaya lain diluar biaya ONH, seperti pembuatan passport misalnya. Pada masa itu, saya dan suami baru saja resign dari tempat kami bekerja untuk mewujudkan impian kami (yang satu lagi) untuk menjadi pengusaha kecil-kecilan. Otomatis seluruh dana yang kami miliki tersedot untuk modal usaha dan hasilnya pun masih belum stabil. Memandang masa-masa itu dari kacamata terkini saya saat ini, Alhamdulillah Allah memberi ujian itu. Dengan ujian itu, saya selalu diingatkan bahwa perjalanan ini adalah anugrah ditengah masa sulit kami. Maka harus dimanfaatkan sepenuhnya. Jangan sampai kesia-siaan yang kami dapat. Niat harus terus diluruskan. Sabar dan syukur senantiasa diamalkan. Memang perjalanan Haji ini menuntut pengorbanan yang sangat besar (terutama bagi saya saat itu adalah korban perasaan setiap memandang anak-anak saya) tapi bukankah syurga Allah juga harus ditebus dangan harta dan jiwa. Pokoknya saya selalu mengingatkan diri..kuat..kuat …jangan lemah..
           
            Akhirnya hari itu datang juga. Hari yang mungkin paling saya nantikan dalam hidup saya. Hari keberangkatan untuk menjalankan ibadah haji. Hari yang terindah sekaligus hari yang terberat dalam hidup saya. Karena harus meninggalkan suami dan anak-anak. Anak saya yang kedua sudah disapih sejak dua minggu sebelumnya, saat saya manasik. Hari-hari setelahnya adalah hari-hari ia menangis meminta menyusu, dan saya menangis dalam hati karena tak boleh mengabulkannya. Alhamdulillah setelah satu minggu masa rewel, akhirnya terlewati juga masa itu. Anak saya yang pertama, yang cenderung lebih dekat keayahnya, justru jadi sangat sensitive dengan rencana kepergian saya. Diusianya yang 2,5 tahun, ia sudah bisa mengerti saat saudara-saudara atau kerabat sering menyebut “duh, Asma nanti ditinggal bunda ya…” terlalu sering ia mendengar kalimat itu, ia menjadi paham bahwa ia akan ditinggal dan malah susah untuk melepaskan diri dari saya. Ketika saya masuk kedalam bus yang akan membawa kebandara, ia menangis dengan tersedu-sedu. Sungguh, hari itu merupakan momen dimana pengorbanan saya diuji.

mata sembab sudah membayangkan harus meninggalkan keluarga, sementara Asma mendekati detik-detik keberangkatan hanya menunduk sambil berbisik "ama mau itut..ama mau pegi aji.."

bersambung

Jumat, 06 Mei 2011

saat seperti ini ingin sekali pergi ke tempat yang jauh
entah gunung atau laut
menjadi diri sendiri yang bebas merdeka
tanpa rasa sungkan
tanpa rasa tertekan
tanpa ada ragu
tanpa kecewa
hanya aku.
mengalahkan semua lemah diri
melakukan hal baru mendobrak kemapanan

Selasa, 03 Mei 2011

Nasihat Ayah Pada Putrinya

Saat kami dikendaraan dalam perjalanan bersama Asma (3 th 1 bln), suamiku menyelipkan sebuah nasihat yang berasal dari kekhawatirannya melihat pola gaul anak-anak remaja sekarang. "Asma..asma...jadi perempuan kamu harus seperti durian. Jangan seperti mangga ya..." kata suamiku. Mungkin diperjalanan itu suamiku melihat tukang mangga atau tukang durian maka teringat memberi nasihat itu. Asma cuma mengangguk-angguk, walau yakin banget deh, dia pasti ga ngerti maksudnya. Karena aku sendiri juga ga belum nyambung  apa maksud si ayah
"Maksudnya yah?" tanyaku kemudian. "lihat deh buah mangga...sebelum dibeli, dicium-cium dulu..dipegang-pegang dulu disana sini. Kalo ga' cocok, ganti mangga yang lain. cium-cium lagi, pegang-pegang lagi. Coba bandingin dengan buah durian..siapa yang berani cium-cium, pegang-pegang kalau ga mau bibirnya d*w*r !!!"
Oooo..baru nyambung saya...oke deh...good advice...walau...
terlalu cepat ga sih untuk si Asma?