Sabtu, 10 Oktober 2009

Lu..pa..Hi..Hi..Hi..

Paling susah jadi orang pelupa…
Udah tau sih, sering baca trik-trik untuk mengantisipasi sifat pelupa yang sudah mendarah daging. Tapi kok, buat aku ga ngepek ya…???
Bayangin aja, hampir tiap hari nih,
- Selalu balik lagi ke rumah karena ada aja yang ketinggalan, entah kuncikah, dompetkah, hapekah, anakkah (lho?..ngga ding, just kidding), tetangga depan rumahku sampai hapal “apalagi yang ketinggalan, des?”
- Udah keluar kantor, menuju ke jemputan tersayang yang menanti didepan kantor, si dia selalu nunjuk kekepala…OIYA! HELM!!, padahal tuh helm selalu ngejogrok manis dibawah mejanya front office, tinggal ambil aja setiap pulang. Dulu, sebelum aku rubah kebiasaanku naruh helm di front office, selalu aku bawa ke ruanganku dilantai 3. Jadilah kalau aku lupa, aku naik turun tangga 3 lantai ngambil helm yang ketinggalan.
- Naruh barang apa gitu ga pada tempatnya. Pampers bekas Asma masih diatas kasur, gelas dilantai, dsb. Kebiasaan ini nih yang bikin aku sering kena jewer suamiku. Auch!
Itu yang rutin, kemarin pas lagi Iedul Fitri parah!Gara-gara baru pertama lebaran sama anak, udah sibuk banget dari subuh nyiap-nyiapin semuanya, mandiin dede, bajunya si dede, baju koko si ayah, sarapan, semua fix. Buru-buru ke lapangan, biar dapet tempat yang pe-we karena shalat bawa bayi berumur 6 bulan. Udah selesai shalat Ied, lagi dengerin ceramah pak Ustadz, eh baru inget… AKU BELUM WUDHU!!!
Hari ini nih, pas mau keluar rumah aku pakai sandal jepit kesayanganku yang setia menemaniku kemana-mana, kemall, ngaji, ngisi liqo, kecuali ke kantor (sempet juga sih pas hamil gede kekantor juga pake sandal jepit, sekarang udah lahir, aku harus tahu diri, pake sepatu yang manis) berhubung sepatuku kemarin kutinggal dirumah mertua. Nanti dirumah mertuaku, aku ganti sepatu, pikirku. Sesampai dirumah mertuaku, aku keasyikan menyapa anakku yang sudah lebih dulu disana, basa-basi sekedarnya dengan orang rumah, lalu nyengklak ke atas motor ojeg pribadiku. Ditengah jalan..”Ayahhh…”jeritku”Bunda belom ganti sepatu!!!masih pake sandal jepit!!!” Hahaha..suamiku cuma tertawa, secara ga mungkin balik lagi. “parah banget sih!!”kata suamiku.
Kalau ini adalah kejadian saat aku dikantor. Ceritanya waktu dzuhur tiba dan kami baru saja selesai makan siang, hendak shalat berjamaah. Kebetulan saat itu hanya aku dan temanku sama-sama perempuan. "mb Destri aja deh yg imamin" kata temenku. Aku sih ok-ok aja...jadilah aku imam shalat dzuhur siang itu. satu rakaat, dua, tiga, empat, salam.."astagfirullah al azhiiim...!"seruku setelah salam terakhir. "Mekar....aku lagi ga sholat!!!" temenku kontan berteriak "haaaaah?!mbak...maksud loe??!" ya...begitulah saudara, temanku akhirnya mengulang kembali shalatnya..#ampuuuun...maaf ya....>_<;
Aku cuma bisa jawab, “lu..pa…hihihi”
Lupa..bikin hidup lebih hidup..(atau berantakan?)..hehehe

Jumat, 09 Oktober 2009

sudah jatuh, tertimpa tangga, digigit anjing, ditendang orang, terserempet motor lalu ditabrak truk

Pernah merasa seperti sudah jatuh, tertimpa tangga, digigit anjing,ditendang orang, terserempet motor lalu ditabrak truk? Rasanya seperti sudah end of the world saja. Hal tak enak, masalah, musibah, sakit, datang beruntun seakan-akan menyerbu dari semua arah dan tak habis-habis. Belum selesai yang ini, sudah datang masalah yang lain. Hampir sebulan ini hal itulah yang kurasakan. Sakit, kemudian masalah keluarga, lalu anakku gagal ASI Eksklusif, amanah dakwah yang terbengkalai, pekerjaan kantor yang tiba-tiba menumpuk, khodimat yang bermasalah sehingga harus kupulangkan-imbasnya pekerjaan rumah yang harus kutangani sendiri sambil merawat bayi dan bekerja, lalu sakit lagi. Hhhhh….seakan-akan tenaga, pikiran dan airmataku terkuras habis. Sampai pada titik terlemahku, aku kembali pada Allah. Bermuhasabah. Pasti ada sebabnya kenapa Allah memberikan semua ini. Memang begitulah manusia. Saat ia senang, saat diatas, ia lupakan TuhanNya. Saat ia lemah, saat ia butuh, baru ia menoleh kembali padaNya.
Memang ada saat-saat sebelum semua ini terjadi, aku seakan-akan melupakan nikmat yang Allah berikan padaku. Indikasinya jelas, ibadahku menurun. Secara kualitas maupun kuantitas. Shalat Sunnah Rawatib sudah jarang sekali kulakukan. Dulu saat hamil, alasannya berat, payah. Untuk shalat wajib saja aku sudah terengah-engah. Lalu kini, setelah Allah anugrahkan padaku karunia amat besar bernama Asma Izzatunnisa, masih ada lagi alasannya. Tak sempat, sibuk, tak ada waktu, selesai shalat wajib sudah harus kembali beraktivitas, atau baru selesai salam Asma menangis minta susu. Tilawah, turun drastis. Benar-benar payah. Aku punya prinsip Allah senang kontinyuitas. Sedikit tak apa asal rutin. Lha sekarang, sudah sedikit tak rutin pula. bolong-bolong. Target 1 juz sehari hanya angan2, terbang dibuai kesibukan semu. Shalat dhuha, puasa sunnah. sama saja pontennya, merah. shalat malam, masih lumayan karena Asma sering bangun tengah malam hingga dini hari. Hapalan Al Quran…hmmm ini lagi. Menghapal iya, tapi kemudian berceceran kembali dijalan dakwah. Hilang. Belum lagi amanahku membina anak-anak keputrian disebuah sekolah. Sempat terlintas rasa lelah, ingin melepas mereka agar dipegang oleh akhwat lain. Kesibukanku mengurus bayi dan waktu yang tak termanage dengan baik telah menjadi fitnah. Alhasil hampir sebulan tidak ada pertemuan.
Aku tak layak menggugat Allah yang memberikan banyak ujian padaku. Bahkan tak layak bertanya “kenapa ini terjadi padaku?” Aku memang layak menerimanya. Dan Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang. Sehabis ia tunjukkan kesalahanku, ia besarkan hatiku kembali. Tak lama setelah masa-masa “meratap kenapa semua ini terjadi”, aku mengaji pekanan seperti biasa. Ketika mengaji, ustadzahku baru saja mengikuti ceramah yang diisi oleh seorang ustadz dari Timur Tengah. Ummiku mentransfer materi yang ia dapat pada kami. Subhanallah, mak nyussss….hati ini terasa sejuk sekali. Kurang lebih inilah yang kudapat dari beliau:
Dalam dakwah, Allah pasti akan selalu memberikan masalah/ujian. Kenapa? Untuk membedakan diantara hambaNya mana orang yang bertaqwa dan mana orang munafik. Karena orang mukmin dan orang munafik akan selalu bersama-sama, sehingga tak tampak pembeda diantara mereka. Tujuan orang munafik bukanlah Allah SWT, sehingga ujian kecil saja akan membuat mereka berpaling dari Allah, berbeda dengan orang mukmin. tujuan orang mukmin hanya satu; ridha Allah SWT. Maka untuk membedakan mereka, Allah akan terus membuat ujian-ujian sehingga tampak jelaslah mana orang munafik diantara orang mukmin. Orang islam sendiri dalam derajat keimanannya dibagi tiga seperti dalam QS. Al Fatir: 32
“kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami. Diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”
Orang Islam yang mendzalimi diri sendiri salah satu contohnya adalah kerabat Abu Bakar As-Sidiq. Ia miskin dan hidupnya ditanggung oleh Abu Bakar. Namun, suatu hari ia membuat fitnah pada Aisyah. Setelah kejadian itu Abu Bakar bersumpah tak akan lagi membantu kerabatnya tersebut. Lalu Allah menegur Abu Bakar. Jangan sampai kesalahan orang menghalangimu membantu orang itu. Maafkanlah kesalahan orang lain dan berharaplah Allah memaafkan kesalahanmu dengan cara banyak membaca AlQuran.
Orang pertengahan kisahnya seperti ini: Ada orang yang sering bertanya pada Rasul tentang masalah-masalah keimanan seperti “apakah Allah itu ahad?” “benarkah kamu Rasulullah” sering sekali ia bertanya. Namun setelah bertanya ia pergi begitu saja. Lalu Rasul berkata, “akan lebih baik kalau ia melaksanakan apa yang ia tanyakan”. Orang pertengahan seringkali merasa cukup dengan ibadah-ibadah wajib saja (pas mendengar ini Plaaak!rasanya aku seperti ditampar, abis beberapa bulan ini aku begitu sih…). Tak mau memperkaya tabungannya dengan yang sunnah.
Orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah orang yang senang bersegera berbuat kebaikan. Ga pake mikir boro-boro sekali. Ada panggilan kebaikan, bles langsung jalan. Tipe ini banyak sekali di antara sahabat Rasul. Seperti Abu Bakar yang menyedekahkan seluruh hartanya dijalan Allah. Atau para shahabiah yang langsung menyobek taplak, korden atau kain apapun untuk segera berhijab ketika perintah jilbab turun. Sekali lagi, ga pake mikir. Lha kita…kita masuk kemana ya??
Kalau aku, sepertinya tak perlu menjawab, aku sudah tau jawabannya. Pe-erku masih banyak sekali. Alhamdulillah Allah bukakan mataku dengan banyak kejadian belakangan ini. Dan Alhamdulillah juga Allah langsung berikan jawabannya padaku (paling tidak inilah tafsirku atas ujian Allah kepadaku) sedikit demi sedikit aku coba berlapang dada dengan ujian-ujian ini. Hidupku bukannya berakhir, tapi baru mulai. Aku lulus atau ngga ujian Allah akan menentukan nasibku diakhirat nanti. Aku istiqomah atau malah berpaling dari Allah. Semua ini adalah proses yang harus kutapaki sedikit demi sedikit sambil berharap pertemuan dengan Allah nanti dengan selamat.
oia, tentang adik-adik binaan di SMA, disaat aku hampir putus asa karena sudah lama tak mengadakan pertemuan dengan mereka, iseng-iseng aku sms bunyinya doa pengingatan bahwa sekarang sudah masuk bulan Rajab dan sebentar lagi menyongsong Ramadhan. Alhamdulillah mereka langsung menanggapi. Ada yang langsung menanyakan kapan pertemuan berikutnya, ada yang langsung curhat, ada yang kemudian merasakan gerimis menyirami hatinya lagi…oh ya Allah…ujianmu begitu nikmat rasanya. Maka yang ada hanyalah: Laa Tahzan, Innallaha ma’ ana…

Kamis, 26 Februari 2009

BAYI-BAYI ITU...

Beberapa hari ini, sudah sejak lama sebenarnya, aku sering menemui berita mengenaskan tentang bayi. Banyak, terlalu banyak malahan cerita pahit tentang bayi yang dibuang (Alhamdulillah masih ada yang ditemukan dalam keadaan hidup), dicekik tali sepatu, ada yang dibandul dengan batu lalu dibuang ke ciliwung, ada yang dipaksa minum racun, ada ribuan janin yang diaborsi, ada yang ditemukan dalam bagasi pesawat, ada yang disimpan dibawah ranjang tempat tidur hingga jadi rangka sampai-sampai susah untuk dikenali jenis kelaminnya. Astaghfirullah…ahhh.. aku bahkan tak mau memikirkannya. Perasaanku ini mungkin sama dengan wanita-wanita lain yang merasakan kepedihan yang sama menatap fenomena itu diluar sana. Yang jelas tak akan sama dengan mereka yang melakukan itu pada bayi2 mereka. Naudzubillahi min Dazalik. Jangan sampai aku punya 0,0000001 % saja sifat seperti orang-orang itu. Banyaknya makhluk lemah itu teraniaya. Aku bahkan tak mau memikirkan seperti apa rupa ibu mereka yang tega melakukan itu, seperti apa sempitnya pikiran mereka? Betapa kelamnya hati mereka, mungkin gelap seperti dasar lautan yang tak tersentuh cahaya keimanan. Pedih…aku menangis untuk mereka, bayi-bayi mungil itu dan berdoa untuk kebaikan yang akan mereka dapatkan dalam kehidupan yang sesungguhnya diakhirat, karena mereka tak diterima disini. Ingin rasanya aku mendoakan keburukan bagi orangtuanya, tapi Allah melarangku berdoa yang buruk. Semoga Allah memberi mereka hidayah, agar mereka dapat menyesali perbuatannya. Ada yang bilang, janganlah menghakimi dulu, siapa tahu ibu bayi-bayi itu sendiri adalah korban, korban keadaan ekonomi yang menghimpit, maka orang yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah yang tak bisa memberi kehidupan bagi rakyatnya. Mungkin korban pemerkosaan, maka yang paling berdosa adalah pemerkosanya. Bagiku, apapun, mereka memang korban, mereka adalah korban kebodohan dan kedangkalan hati sehingga menjadikan bayi-bayi mereka sebagai tumbal kebodohan mereka. Aku pikir aku tak perlu bersimpati pada orang-orang itu, orang-orang yang karena mereka lebih kuat lalu semena-mena pada kelemahan bayinya. Seandainya bayi-bayi itu mampu melawan, ia pasti akan melawan, bila mampu bicara ia pasti akan bertanya “karena dosa apakah aku dibunuh? Dosakukah ayah / ibu menjadi orang miskin? Dosakukah ibu diperkosa lalu lahirlah aku? Dosakukah kalian penikmat seks bebas berzina lalu aku hadir ditengah kalian menghancurkan masa depan kalian yang masih panjang?”
Astaghfirullah, itu bukan dosanya! Bukan bayi-bayi itu yang harus memikul akibat perbuatan orang dewasa. Allah…Kau Maha Adil..Tetapkanlah keadilan untuk mereka. Hancur..hancur..hancur…hatiku

Selasa, 20 Januari 2009

REFLEKSI 2 TAHUN PERNIKAHAN

Bila orang (lajang) beranggapan bahwa dengan menikah adalah akhir sebuah tujuan, akhir sebuah cerita, penyelesaian segala masalah, seperti di akhir dongeng-lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya, bisa dikatakan mereka salah. Wooo..kesannya seram sekali menikah. Yaaa..ga seseram itu sih… tapi juga ga seindah itu. Intinya itu saja. Menikah justru awal dari segalanya, awal menentukan tujuan, awal beradaptasi dengan pasangan dan keluarganya, bahkan awal dari masalah-masalah baru. Memang, sebelum menikah, yang terbayang semua yang indah-indah. Bayangan seindah surga. Kenyataannya?hmmmm…(silakan tafsirkan sendiri)
Bagaimanapun, aku sangat bersyukur telah menikah, meski kadang terlintas dipikiranku yang nakal, waah..kalau masih lajang enak nih, masih bisa begini-begini dan begitu-begitu, misalkan mau I’tikaf, mau aksi, mau kegiatan apa, tidak perlu banyak pertimbangan. Mau jalan ya jalan aja ga perlu ijin suami. Tapi, saat pikiran itu melintas, terkadang aku berpikir, bodoh juga berpikir begitu, sementara disaat yang sama, aku malah banyak mendapat kemudahan karena telah menikah, minimal jadi ada yang nganter jemput. Pada akhirnya, semua ini tentang bagaimana kita bersabar dan bersyukur.
Awal menikah dulu, aku membayangkan, seperti pasangan-pasangan lain yang tak punya apa-apa diawal kehidupan rumah tangganya, maka aku bersiap-siap hidup prihatin. Dalam bayanganku, aku akan hidup di kontrakan petakan sempit, mencuci baju pakai papan gilesan, masak masakan seadanya (sebisanya, abis ga bisa masak hehehe), membawakan suami bekal makanan demi menghemat pengeluaran rumah tangga….eee, (Alhamdulillah) ternyata semua bayanganku ga ada yang terwujud. Subhanallah…
Rumah kontrakan , karena agak terburu-buru mencarinya, dapatnya malah kontrakan yang terlalu luas buat kami tinggali berdua. Sebuah rumah dengan dua kamar. Yang ada , setelah ditinggali kesannya lapaaaaaaang banget, toh kami juga ga punya perabotan rumah tangga. Jadi rumah itu benar-benar kosong melompong. Hari kedua setelah akad, tiba-tiba suamiku mengajakku ke salah satu hypermarket terdekat. Aku disuruhnya memilih mesin cuci. Sampai terbengong-bengong aku dibuatnya. Bayangan mencuci dengan papan gilesan, sikat dan tangan sangat erat melekat, tak terpikirkan akan memiliki mesin cuci secepat itu. Ternyata suamiku sangatlah pengertian dan perhatian, ia sadar pekerjaan mencuci termasuk golongan kelas berat dalam kehidupan rumah tangga, maka ia dengan segala kebesaran hati menyisihkan dana simpanan untuk beli mesin cuci. Alhamdulillah sambil berjalan, kami bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit perabotan rumah tangga (Hingga sekarang saat kami kebagian rezeki menempati rumah petakan sempit, baru terasa…duh, sempit!!!Barang-barang kita banyak banget siiih..meski perabotan semacam kursi, sofa, meja tetap tidak masuk dalam daftar belanja kami) dan Alhamdulillah, kami selalu diberi lebih oleh Alah, meski dalam hitungan kertas tampaknya akan besar pasak daripada tiang, ujian orang tua yang sakit dan butuh biaya banyak dan sebagainya Alhamdulillah mampu kami lewati tanpa berhutang.
Sungguh, kadang-kadang aku suka bertanya pada Allah, layakkah aku menerima nikmatMu ini ya Allah? Segala kemudahan dan fasilitas. Sementara aku masih sering kurang bersyukur. Sering lalai, Sering Malas. Aku hanya berusaha mengingatkan diri dan suami terus menerus, harta adalah ujian, orang yang diberi sedikit harta sedang diuji, orang yang diberi banyak harta pun sedang diuji, semoga kami mampu melewati segala ujian, baik miskin harta ataupun banyak harta. Dan terutama berdoa, agar sedikit atau banyaknya harta kami diperoleh dengan halal & thayyib sehingga Allah ridha.
Sepanjang perjalanan rumah tangga kami, masalah keuangan memang bukan masalah utama rumah tangga kami. Yang sering menjadi masalah diantara aku dan suami justru lebih banyak masalah komunikasi. Perang dingin tak jarang pula kami alami. Syukur, kami berdua bukan orang yang suka ngomel dan adu mulut. Selama 2 tahun ini, kusadari, tipe kami sama. Kalau sedang kesal, tiba-tiba diam (ditambah dengan muka jutek, garang, sinis), lalu setelah badai dihati mereda baru bicara. Jadi tidak pakai piring,gelas,handphone terbang, tidak mengeluarkan isi kebun binatang dan masalah lebih mudah terpecahkan bila dibicarakan dengan kepala & hati yang dingin.
Awal-awal menikah aku banyak ngambek. Tiba-tiba diam, menangis, jutek. Suamiku bingung. Saat aku diam begitu, dia selalu memaksa aku bicara. Dia paling ga tahan aku bersikap diam begitu. Padahal aku diam untuk mendinginkan hati dan kepala. Setelah dingin, aku pasti akan bicara, “tadi itu begini-begini…” “Aku ga sreg kalau mas begitu-begitu…” Diawal pernikahan saat aku “kambuh” begitu, suami kadang ikut emosi. Ikutan “ngambek”, dia frustasi karena aku diam saja. Yang dia inginkan aku membicarakan apa yang sedang terjadi, kenapa aku tiba-tiba diam. Sesungguhnya, aku benar-benar ga sanggup bicara kalau sedang emosi. Jadi lebih baik diam. Kalau suamiku cenderung terus terang, jadi ia lebih sering langsung bicara saat sedang merasa tidak enak hati dengan apa yang kulakukan. Akhir-akhir ini entah ketularan atau apa, suamiku juga sering diam saat sedang emosi. Dan aku gantian, mengorek-ngorek dia untuk bicara. Yang jelas, Alhamdulillah kami jarang bertengkar mulut, ngotot-ngototan mempertahankan pendapat. Sejak awal, kami membiasakan saling minta maaf meskipun bukan sebagai pihak yang salah. Minimal, minta maaf telah membuat pasangan merasa tidak nyaman dengan perbuatan kita, meski kadang kita tidak sadar telah melakukan kesalahan. Semoga kebiasaan saling meminta maaf ini bisa lestari selama-lamanya. Sekarang-sekarang ini, setelah begitu banyak perang dingin yang kami alami, kami merasa sudah lebih dewasa dalam memecahkan masalah. Setelah semua yang terjadi, sering kali perang dingin disebabkan kesalah pahaman. Setelah dibicarakan ternyata ada kesalahpahaman ditengah-tengah kami. Saya inginnya A, suami inginnya B. Ga nyambung lalu perang dingin. Sejujurnya dalam banyak hal, kadang aku sadar, sepertinya aku yang kurang dewasa dan suami yang lebih pengertian. Kadang, aku yang kurang bisa mengkomunikasikan keinginanku, lalu sebel sendiri, lalu emosi. Diam. Akhir-akhir ini aku merasa seperti itu. Padahal seandainya itu dibicarakan, bisa saja selesai tanpa pakai protokoler ngambek terlebih dahulu. Aku hanya bisa berdoa semoga saja suamiku bisa terus bersabar menghadapi aku.
Satu hal lagi, yang sangat kutekankan pada diriku sendiri, mengalah. Kadang saat menghadapi masalah, sikap mengalah sangat membantu. Meski kadang ada syaithan yang menyanyikan sebuah lagu yang dinyanyikan band seventeen di telingaku “Mengapa selalu aku yang mengalah….?” Tapi ya…ngga juga sih..kadang karena keegoisan kita, kita selalu merasa kita terus yang mengalah. Padahal, dalam banyak hal yang ga kita sadari, mungkin pasangan kita juga banyak mengalah. Jadi selama memang mengalah bisa meminimalisir masalah, ya lakukan saja. Itu salah satu cabang bersabar dalam kaidah bersabar dan bersyukur yang aku anut dalam rumah tangga ini.
Hari ini dalam kalender Hijriyah, pas 2 tahun sudah pernikahan kami.
Mengenang masa dua tahun yang lampau, banyak kisah yang kami alami. Kisah lucu masa adaptasi kami berdua, adaptasi kami dengan keluarga masing-masing, kisah sedih saat kepercayaan diantara kami berdua sedang diuji, kisah bahagia dengan kehadiran buah hati kami Asma Izzatunnisa dan menyusul calon adiknya didalam rahim, hidup bertetangga dilingkungan yang tak kondusif, tentu akan lebih banyak kisah yang kami alami nanti, hanya satu harapanku, semoga semua kisah itu, baik senang, sedih, duka tawa, senantiasa berbalut ridha Allah dan kesadaran untuk mencapai tujuan hakiki pernikahan ini karena Allah. Sehingga nantinya kami sekeluarga dapat berkumpul di Jannah-Nya dan dijauhkan dari api neraka.
Wallahu’alam


23 Muharram 1430 H